Kamis, 06 September 2012

Sekilas Sejarah Depok Lama


Bukan Belanda Depok, tapi Keturunan Budak
 
     Diantara kita mungkin sudah sering mendengar istilah “Belanda Depok”, ketika saya pertama kali mendengar istilah ini yang terbayang di kepala saya adalah wajah-wajah keturunan sinyo-sinyo dan noni-noni Belanda yang sudah hidup turun-temurun di wilayah tersebut, namun ternyata dugaan saya itu salah. Hal ini terbukti ketika pada 21 Mei 2006 saya mengikuti suatu acara tur wisata sejarah yang diadakan Metocondrya Fun Life Learning, yang diketuai oleh Jeane Wilhemina. Dalam acara tsb saya berkesempatan mengunjungi wilayah Depok Lama dimana orang-orang yang sering disebut “Belanda Depok” ini tinggal.
Ketika bertatapan langsung dengan para keturunan “Belanda Depok” ini ternyata tak nampak ciri-ciri fisik ras eropa pada wajah mereka, wajah mereka tidak ada bedanya dengan wajah suku-suku yang tersebar di nusantara. Berdasarkan keterangan dari Tante Susana Leander (salah satu keturunan dari warga Depok Lama), ternyata mereka memang bukan keturunan Belanda, mereka adalah keturunan suku-suku dari wilayah Sulawesi, Kalimantan, Bali, Maluku dll.
   
     Mereka mendapat julukan “Belanda Depok” karena tidak terlepas dari apa yang terjadi pada masa lalu. Pada zaman Kolonial Belanda mereka adalah orang-orang pribumi istimewa. Mereka beragama Kristen Protestan, bergaya hidup & berbicara seperti orang Belanda, bahkan memiliki Pemerintahan Sipil sendiri di “Kota Depok”. Mereka hidup secara eksklusif di antara pemukiman pribumi lokal. Karena agama, kebudayaan & gaya hidup mereka yang lebih mirip dengan orang-orang Belanda maka mereka mendapat julukan “Belanda Depok”. “Sebutan ‘Belanda Depok’ ini sebetulnya bernada ejekan, jadi sebenarnya kami bukan orang Belanda, kami adalah orang indonesia asli sama seperti anda semua”, demikian Tante Susana Leander menjelaskan kepada peserta tur. Pada buku “Betawi, Queen of The East”-nya Alwi Shahab juga disebutkan bahwa warga Depok Lama tersinggung dengan sebutan “Belanda Depok”, mereka justru tidak tersinggung kalau disebut sebagai keturunan budak.

Budak Cornelis Chastelein Yang Dimerdekakan

     Pemerintahan Sipil Kota Depok yang dikelola oleh para Pribumi Kristen Protestan ini bisa ada berkat andil yang besar dari seorang pejabat VOC yang bernama Cornelis Chastelein. Pada 18 Mei 1696 Chastelein membeli tanah ke arah selatan Sringsing (kini Lenteng Agung-Srengseg Sawah) yang dikenal sebagai Depok dengan harga 700 ringgit. Sebagai tuan tanah, Chastelein memiliki hak untuk menguasai penduduk pribumi yang hidup di atas tanah tersebut. Chastelein memungut cukai setiap kali panen padi, besarnya seperlima dari hasil panen yang diperoleh.Untuk menggarap tanahnya diperlukan tenaga kerja, maka Chastelein membeli pekerja-pekerja yang berjumlah sekitar 150 orang dari pulau Sulawesi, Kalimantan, Bali dan Timor. Pada masa itu masih diterapkan sistem perbudakan. Malam hari, para budak Chastelein diberi pelajaran etika agama Kristen Protestan. Hasilnya, sekitar 120 orang budak Chastelein bersedia menganut agama Kristen.Mereka kemudian disebut mardijkers yang berarti orang yang dimerdekakan. Budak-budak yang dibebaskan itu antara lain bernama Jan van Badinlias, Baten Pahan, Samawarin van Bali, Hazin van Bali, Wiera van Makassar dan Florian van Bangelan, selain itu terdapat pula Raima dan istrinya Mamma, Lukas dan istrinya Klara, Sangkat Maligat, Malantas, Hagar dan Soman.
Kemudian mereka menggunakan 12 nama marga. Ke-12 nama marga itu adalah Jonathan, Soedira, Laurens, Bacas, Loen, Isakh, Samuel, Leander, Joseph, Tholense, Jacob dan Zadokh. Kecuali marga Zadokh yang telah punah lantaran kehabisan keturunan lelaki, keturunan marga-marga tersebut masih ada sampai sekarang.

     Sebelum wafat, pada tanggal 13 Maret 1714 Cornelis Chastelein menulis surat wasiat, yakni memberikan tanah perkebunannya di Depok seluas 1.224 hektar kepada para mardijkers itu. Chastelein tidak cuma mewariskan tanah yang begitu luas. Ia juga membagi-bagikan sejumlah uang. Setiap keluarga memperoleh 16 ringgit. Selain itu, ia juga mewariskan 300 ekor kerbau, dua perangkat gamelan yang dihiasi dan bertakhtakan emas, dan 60 tombak berlapis perak. Dibalik surat wasiat Chastelein disebutkan, bahwa para pekerja masih diizinkan menggarap tanah yang selama ini mereka kerjakan dengan status hak pakai. Secara hukum berarti para bekas pekerja berstatus penggarap sekaligus berhak menikmati sebagian hasil dari garapannya. Dan nyatanya, lama kelamaan hak pakai atas tanah tersebut berubah menjadi hak milik.

     Pemerintahan Sipil atau dikenal dengan Gemeente Bestuur dibentuk tahun 1872 oleh para ahli waris Chastelein. Pemerintahan Sipil ini diketuai oleh seorang pemimpin yang disebut Presiden, yang dipilih berdasarkan pemungutan suara terbanyak setiap 3 tahun sekali. Dalam menjalankan pemerintahan Presiden Depok dibantu oleh Sekretaris, Bendahara, Kepala Polisi, Juragan (Kepala Administrasi Pemerintahan Wilayah) serta 2 orang pegawai. Kekuasaan Pemerintahan Sipil Depok berakhir pada 8 April 1949 ketika Pemerintah Republik Indonesia mengeluarkan keputusan tentang penghapusan tanah partikelir di seluruh Indonesia dan memberlakukan Undang-undang Agraria (Landereform).

Perbedaan yang Kontras & Peristiwa “Gedoran”

     Jalan Pemuda yang dulunya bernama Jalan Geredja, merupakan tempat tinggal golongan elite orang Depok Protestan karena merupakan pusat kota. Rumah-rumah disini umumnya terbuat dari batu dan tembok, beratapkan genteng dan ditata mirip bangunan vila pada zaman kolonial Belanda. Susunan bangunan, letak rumah, jalan dan sistem saluran air telah diatur dengan baik, menyerupai kota kecil di Eropa abad pertengahan. Penduduk Depok yang tinggal disini sudah mengenal listrik dan telepon. Kebutuhan air bersih diperoleh dari sumur gali atau sumur pompa.
Sementara diluar daerah “kota”, keadaannya sangat berbeda. Tidak ada rumah tembok, melainkan hanya tanah pertanian, sawah, kebun dan dukuh-dukuh petani orang kampung. Rumah orang kampung berupa rumah panggung dengan tiang terbuat dari bambu betung setinggi 80-100 cm dari permukaan tanah, dengan atap dari daun kirai.

     Pada masa kolonial Belanda, para ahli waris Chastelein dan keturunannya memiliki kedudukan yang istimewa melebihi orang pribumi lain yang tinggal di sekitarnya . Keistimewaan ini tercermin dalam sikap hidup yang seperti layaknya orang Belanda, seperti bahasa sehari-hari, cara makan, demikian pula bentuk rumah. Ketika kekuasaan pemerintah kolonial Belanda berakhir maka terjadilah revolusi, peperangan dimana-mana. Kebencian yang terpendam itu akhirnya meledak, para hamba Belanda berbalik melawan bekas tuannya. Diskriminasi yang dilakukan pemerintah kolonial Belanda dan antek-anteknya terhadap pribumi yang mayoritas muslim ini menghasilkan dendam. Para pribumi akhirnya memerangi bekas penguasa wilayah mereka. Semua lapisan masyarakat menjadi anti Belanda. Semua yang berbau Belanda dihancurkan termasuk orang-orang yang dianggap kaki tangan orang Belanda.

     Di Depok pemerintahan sipil yang dikelola oleh pribumi Kristen Protestan inilah yang menjadi sasaran masa yang marah. Pada masa revolusi tersebut di “kota Depok” ini para pribumi lokal yang selama ini merasa didiskriminasikan menjarahi rumah-rumah pribumi istimewa tsb. Peristiwa ini dikenal dengan peristiwa “Gedoran”. Gedoran berasal dari kata penggedoran atau bunyi pintu yang digedor-gedor. Dalam peristiwa tersebut orang-orang Depok Nasrani ini sempat mengungsi ke Bogor selama kurang lebih 2 tahun.

Mengingat Sejarah, Menghapus “Dendam Sejarah”

Tidak Melupakan Namun Mau Memaafkan
   
     Dari apa yang telah terjadi di masa lalu kita bisa memetik banyak pelajaran. Apabila ada peristiwa yang tidak menyenangkan, tentunya kita tidak menghendakinya terulang kembali. Biarkanlah peristiwa yang tidak menyenangkan itu tetap tinggal di masa lalu, kita tidak perlu membawanya ke masa sekarang.
Namun sejarah yang kelam tidak bisa dijadikan pembenaran terhadap tindakan penghilangan jejak masa lalu. Justru sebaliknya sekelam apapun peristiwa yang telah terjadi pada masa lalu tetap harus diungkapkan. Kita bisa meniru prinsipnya orang Belanda dalam melihat sejarah: “Vergeven maar niet Vergeten” (Memaafkan namun tidak melupakan).

     Dengan tidak melupakannya bukan berarti kita ingin menumbuhkan rasa dendam terhadap peristiwa masa lalu yang kelam. Justru dengan mengingatnya kita bisa mempelajarinya kenapa kenangan pahit tersebut bisa terjadi, dengan demikian kita jadi tahu bagaimana caranya supaya kejadian-kejadian buruk di masa lalu tidak terulang kembali di masa kini dan masa depan. Kita harus melihat sejarah dengan lebih arif. Kita harus bisa memilah-milah bagian mana yang baik untuk dilestarikan & bagian mana yang harus ditinggalkan di masa lalu.
Seperti dalam sejarah Depok Lama ini. Kita bisa memetik pelajaran bahwa diskriminasi bisa menimbulkan kecemburuan sosial, dan dalam peristiwa “gedoran” kita tidak melihat adanya suatu manfaat apapun, aksi balas dendam justru memberikan citra buruk bagi orang yang melakukannya.

     Pada acara tgl 21 Mei 2006 tersebut tidak terasa lagi bahwa pernah terjadi suatu peristiwa yang tidak menyenangkan di kawasan Depok Lama ini. Meskipun peristiwa tersebut tidak hilang dari ingatan, namun tidak ditemukan adanya rasa dendam dari pihak manapun. Sebagai contoh: para peserta tur wisata sejarah Depok Lama yang sebagian muslim –tampak pada kostum perempuannya yang banyak menggunakan jilbab- bisa diterima dengan baik oleh pengurus Gereja Imanuel ketika peserta mengunjungi Gereja yang berdiri sejak tahun 1700 tersebut.

     Dari pemaparan di atas kita bisa menarik kesimpulan: meskipun kita tidak melupakan lembaran hitam dari masa lalu, namun kata “Dendam Sejarah” harus dihapuskan dari hati & pikiran kita. Rasanya prinsip orang Belanda itu akan lebih enak didengar bila kata-katanya dibalik : bukan “Memaafkan namun tidak melupakan”, tapi “Tidak melupakan namun mau memaafkan”.. Yuk kita saling memaafkan..

Disusun Oleh:
Ramdan Panigoro

Sumber:
-Sinopsis acara tur wisata sejarah: Amati Kampong : Depok Tana Particulier
Oleh: Metocondrya Fun Life Learning, yang diadakan pada 21 Mei 2006.

-Rekaman video acara tur wisata sejarah: Amati Kampong :
Depok Tana Particulier. 21 Mei 2006 milik Ramdan Panigoro

-Buku: Betawi, Queen of the East oleh Alwi Shahab, Republika, 2002

-Tulisan Danny Lim pada milis Kincir Angin,
berjudul : Monarki (29 Agustus 2006: www.kincirangin.com)

1 komentar:

  1. Kepada bapak walikota Depok DR Ir Nurmahmudi Ismail , Bapak Kepala Dinas Pertamanan dan Kebersihan Kota Depok Mulyo Handono, Bapak Camat Tapos Depok Drs Taufan Abdul Fattah MH, adalah sangat layak bila kita memuliakan pahlawan apalagi pahlawan wanita yang ada di wilayah Tapos Depok sebagaimana makam Ambo Mayangsari di kompleks pemakaman umum kelurahan Cimpaeun, wanita guru spiritual Untung Suropati ini pejuang sejati, pernah dibuang ke Ceilon bersama suaminya Pangeran Purbaya putra Sultan Ageng Tirtayasa Banten, wanita keturunan Ki Jepra yang bersemayam di Kebun raya Bogor ini pemegang kunci harta karun kerajaan Banten, setidaknya ijinkan kami untuk menanam pohon penghijauan disekitar wilayah makam, agar hijau pemandangannya agar sehat sehat lingkungannya, sekaligus memelihara semangat perjuangan Ambo Mayangsari , pejuang Banten 1682 yang tewas diujung peluru Letnan VOC Kueffler. http://kecamatantapos.blogspot.com/2013/01/menghijaukan-makam-leluhur-tapos-ambo.html

    BalasHapus