Kamis, 06 September 2012

Sekilas Sejarah Depok Lama


Bukan Belanda Depok, tapi Keturunan Budak
 
     Diantara kita mungkin sudah sering mendengar istilah “Belanda Depok”, ketika saya pertama kali mendengar istilah ini yang terbayang di kepala saya adalah wajah-wajah keturunan sinyo-sinyo dan noni-noni Belanda yang sudah hidup turun-temurun di wilayah tersebut, namun ternyata dugaan saya itu salah. Hal ini terbukti ketika pada 21 Mei 2006 saya mengikuti suatu acara tur wisata sejarah yang diadakan Metocondrya Fun Life Learning, yang diketuai oleh Jeane Wilhemina. Dalam acara tsb saya berkesempatan mengunjungi wilayah Depok Lama dimana orang-orang yang sering disebut “Belanda Depok” ini tinggal.
Ketika bertatapan langsung dengan para keturunan “Belanda Depok” ini ternyata tak nampak ciri-ciri fisik ras eropa pada wajah mereka, wajah mereka tidak ada bedanya dengan wajah suku-suku yang tersebar di nusantara. Berdasarkan keterangan dari Tante Susana Leander (salah satu keturunan dari warga Depok Lama), ternyata mereka memang bukan keturunan Belanda, mereka adalah keturunan suku-suku dari wilayah Sulawesi, Kalimantan, Bali, Maluku dll.
   
     Mereka mendapat julukan “Belanda Depok” karena tidak terlepas dari apa yang terjadi pada masa lalu. Pada zaman Kolonial Belanda mereka adalah orang-orang pribumi istimewa. Mereka beragama Kristen Protestan, bergaya hidup & berbicara seperti orang Belanda, bahkan memiliki Pemerintahan Sipil sendiri di “Kota Depok”. Mereka hidup secara eksklusif di antara pemukiman pribumi lokal. Karena agama, kebudayaan & gaya hidup mereka yang lebih mirip dengan orang-orang Belanda maka mereka mendapat julukan “Belanda Depok”. “Sebutan ‘Belanda Depok’ ini sebetulnya bernada ejekan, jadi sebenarnya kami bukan orang Belanda, kami adalah orang indonesia asli sama seperti anda semua”, demikian Tante Susana Leander menjelaskan kepada peserta tur. Pada buku “Betawi, Queen of The East”-nya Alwi Shahab juga disebutkan bahwa warga Depok Lama tersinggung dengan sebutan “Belanda Depok”, mereka justru tidak tersinggung kalau disebut sebagai keturunan budak.

Budak Cornelis Chastelein Yang Dimerdekakan

     Pemerintahan Sipil Kota Depok yang dikelola oleh para Pribumi Kristen Protestan ini bisa ada berkat andil yang besar dari seorang pejabat VOC yang bernama Cornelis Chastelein. Pada 18 Mei 1696 Chastelein membeli tanah ke arah selatan Sringsing (kini Lenteng Agung-Srengseg Sawah) yang dikenal sebagai Depok dengan harga 700 ringgit. Sebagai tuan tanah, Chastelein memiliki hak untuk menguasai penduduk pribumi yang hidup di atas tanah tersebut. Chastelein memungut cukai setiap kali panen padi, besarnya seperlima dari hasil panen yang diperoleh.Untuk menggarap tanahnya diperlukan tenaga kerja, maka Chastelein membeli pekerja-pekerja yang berjumlah sekitar 150 orang dari pulau Sulawesi, Kalimantan, Bali dan Timor. Pada masa itu masih diterapkan sistem perbudakan. Malam hari, para budak Chastelein diberi pelajaran etika agama Kristen Protestan. Hasilnya, sekitar 120 orang budak Chastelein bersedia menganut agama Kristen.Mereka kemudian disebut mardijkers yang berarti orang yang dimerdekakan. Budak-budak yang dibebaskan itu antara lain bernama Jan van Badinlias, Baten Pahan, Samawarin van Bali, Hazin van Bali, Wiera van Makassar dan Florian van Bangelan, selain itu terdapat pula Raima dan istrinya Mamma, Lukas dan istrinya Klara, Sangkat Maligat, Malantas, Hagar dan Soman.
Kemudian mereka menggunakan 12 nama marga. Ke-12 nama marga itu adalah Jonathan, Soedira, Laurens, Bacas, Loen, Isakh, Samuel, Leander, Joseph, Tholense, Jacob dan Zadokh. Kecuali marga Zadokh yang telah punah lantaran kehabisan keturunan lelaki, keturunan marga-marga tersebut masih ada sampai sekarang.

     Sebelum wafat, pada tanggal 13 Maret 1714 Cornelis Chastelein menulis surat wasiat, yakni memberikan tanah perkebunannya di Depok seluas 1.224 hektar kepada para mardijkers itu. Chastelein tidak cuma mewariskan tanah yang begitu luas. Ia juga membagi-bagikan sejumlah uang. Setiap keluarga memperoleh 16 ringgit. Selain itu, ia juga mewariskan 300 ekor kerbau, dua perangkat gamelan yang dihiasi dan bertakhtakan emas, dan 60 tombak berlapis perak. Dibalik surat wasiat Chastelein disebutkan, bahwa para pekerja masih diizinkan menggarap tanah yang selama ini mereka kerjakan dengan status hak pakai. Secara hukum berarti para bekas pekerja berstatus penggarap sekaligus berhak menikmati sebagian hasil dari garapannya. Dan nyatanya, lama kelamaan hak pakai atas tanah tersebut berubah menjadi hak milik.

     Pemerintahan Sipil atau dikenal dengan Gemeente Bestuur dibentuk tahun 1872 oleh para ahli waris Chastelein. Pemerintahan Sipil ini diketuai oleh seorang pemimpin yang disebut Presiden, yang dipilih berdasarkan pemungutan suara terbanyak setiap 3 tahun sekali. Dalam menjalankan pemerintahan Presiden Depok dibantu oleh Sekretaris, Bendahara, Kepala Polisi, Juragan (Kepala Administrasi Pemerintahan Wilayah) serta 2 orang pegawai. Kekuasaan Pemerintahan Sipil Depok berakhir pada 8 April 1949 ketika Pemerintah Republik Indonesia mengeluarkan keputusan tentang penghapusan tanah partikelir di seluruh Indonesia dan memberlakukan Undang-undang Agraria (Landereform).

Perbedaan yang Kontras & Peristiwa “Gedoran”

     Jalan Pemuda yang dulunya bernama Jalan Geredja, merupakan tempat tinggal golongan elite orang Depok Protestan karena merupakan pusat kota. Rumah-rumah disini umumnya terbuat dari batu dan tembok, beratapkan genteng dan ditata mirip bangunan vila pada zaman kolonial Belanda. Susunan bangunan, letak rumah, jalan dan sistem saluran air telah diatur dengan baik, menyerupai kota kecil di Eropa abad pertengahan. Penduduk Depok yang tinggal disini sudah mengenal listrik dan telepon. Kebutuhan air bersih diperoleh dari sumur gali atau sumur pompa.
Sementara diluar daerah “kota”, keadaannya sangat berbeda. Tidak ada rumah tembok, melainkan hanya tanah pertanian, sawah, kebun dan dukuh-dukuh petani orang kampung. Rumah orang kampung berupa rumah panggung dengan tiang terbuat dari bambu betung setinggi 80-100 cm dari permukaan tanah, dengan atap dari daun kirai.

     Pada masa kolonial Belanda, para ahli waris Chastelein dan keturunannya memiliki kedudukan yang istimewa melebihi orang pribumi lain yang tinggal di sekitarnya . Keistimewaan ini tercermin dalam sikap hidup yang seperti layaknya orang Belanda, seperti bahasa sehari-hari, cara makan, demikian pula bentuk rumah. Ketika kekuasaan pemerintah kolonial Belanda berakhir maka terjadilah revolusi, peperangan dimana-mana. Kebencian yang terpendam itu akhirnya meledak, para hamba Belanda berbalik melawan bekas tuannya. Diskriminasi yang dilakukan pemerintah kolonial Belanda dan antek-anteknya terhadap pribumi yang mayoritas muslim ini menghasilkan dendam. Para pribumi akhirnya memerangi bekas penguasa wilayah mereka. Semua lapisan masyarakat menjadi anti Belanda. Semua yang berbau Belanda dihancurkan termasuk orang-orang yang dianggap kaki tangan orang Belanda.

     Di Depok pemerintahan sipil yang dikelola oleh pribumi Kristen Protestan inilah yang menjadi sasaran masa yang marah. Pada masa revolusi tersebut di “kota Depok” ini para pribumi lokal yang selama ini merasa didiskriminasikan menjarahi rumah-rumah pribumi istimewa tsb. Peristiwa ini dikenal dengan peristiwa “Gedoran”. Gedoran berasal dari kata penggedoran atau bunyi pintu yang digedor-gedor. Dalam peristiwa tersebut orang-orang Depok Nasrani ini sempat mengungsi ke Bogor selama kurang lebih 2 tahun.

Mengingat Sejarah, Menghapus “Dendam Sejarah”

Tidak Melupakan Namun Mau Memaafkan
   
     Dari apa yang telah terjadi di masa lalu kita bisa memetik banyak pelajaran. Apabila ada peristiwa yang tidak menyenangkan, tentunya kita tidak menghendakinya terulang kembali. Biarkanlah peristiwa yang tidak menyenangkan itu tetap tinggal di masa lalu, kita tidak perlu membawanya ke masa sekarang.
Namun sejarah yang kelam tidak bisa dijadikan pembenaran terhadap tindakan penghilangan jejak masa lalu. Justru sebaliknya sekelam apapun peristiwa yang telah terjadi pada masa lalu tetap harus diungkapkan. Kita bisa meniru prinsipnya orang Belanda dalam melihat sejarah: “Vergeven maar niet Vergeten” (Memaafkan namun tidak melupakan).

     Dengan tidak melupakannya bukan berarti kita ingin menumbuhkan rasa dendam terhadap peristiwa masa lalu yang kelam. Justru dengan mengingatnya kita bisa mempelajarinya kenapa kenangan pahit tersebut bisa terjadi, dengan demikian kita jadi tahu bagaimana caranya supaya kejadian-kejadian buruk di masa lalu tidak terulang kembali di masa kini dan masa depan. Kita harus melihat sejarah dengan lebih arif. Kita harus bisa memilah-milah bagian mana yang baik untuk dilestarikan & bagian mana yang harus ditinggalkan di masa lalu.
Seperti dalam sejarah Depok Lama ini. Kita bisa memetik pelajaran bahwa diskriminasi bisa menimbulkan kecemburuan sosial, dan dalam peristiwa “gedoran” kita tidak melihat adanya suatu manfaat apapun, aksi balas dendam justru memberikan citra buruk bagi orang yang melakukannya.

     Pada acara tgl 21 Mei 2006 tersebut tidak terasa lagi bahwa pernah terjadi suatu peristiwa yang tidak menyenangkan di kawasan Depok Lama ini. Meskipun peristiwa tersebut tidak hilang dari ingatan, namun tidak ditemukan adanya rasa dendam dari pihak manapun. Sebagai contoh: para peserta tur wisata sejarah Depok Lama yang sebagian muslim –tampak pada kostum perempuannya yang banyak menggunakan jilbab- bisa diterima dengan baik oleh pengurus Gereja Imanuel ketika peserta mengunjungi Gereja yang berdiri sejak tahun 1700 tersebut.

     Dari pemaparan di atas kita bisa menarik kesimpulan: meskipun kita tidak melupakan lembaran hitam dari masa lalu, namun kata “Dendam Sejarah” harus dihapuskan dari hati & pikiran kita. Rasanya prinsip orang Belanda itu akan lebih enak didengar bila kata-katanya dibalik : bukan “Memaafkan namun tidak melupakan”, tapi “Tidak melupakan namun mau memaafkan”.. Yuk kita saling memaafkan..

Disusun Oleh:
Ramdan Panigoro

Sumber:
-Sinopsis acara tur wisata sejarah: Amati Kampong : Depok Tana Particulier
Oleh: Metocondrya Fun Life Learning, yang diadakan pada 21 Mei 2006.

-Rekaman video acara tur wisata sejarah: Amati Kampong :
Depok Tana Particulier. 21 Mei 2006 milik Ramdan Panigoro

-Buku: Betawi, Queen of the East oleh Alwi Shahab, Republika, 2002

-Tulisan Danny Lim pada milis Kincir Angin,
berjudul : Monarki (29 Agustus 2006: www.kincirangin.com)

Warisan dari Zaman Kolonial di Jakarta.

Indonesia dulu dijajah Belanda, istilah lainnya Indonesia dahulu adalah bagian dari atau milik pemerintah Belanda yang kekuasaannya di kepulauan nusantara ini disebut Hindia Belanda (Netherland Indies). Kolonialisme Hindia Belanda berlangsung selama berabad-abad ini masih meninggalkan jejak-jejaknya. Beberapa bangunan masih berdiri tegak sejak tahun 1700 sampai sekarang, berikut adalah peninggalan kolonial Belanda yang terdapat di wilayah jakarta:
 
Batavia/ Oud Batavia (Batavia Lama) =. Kawasan Jakarta Kota dan Pasar Ikan:.
Pada 1619 Jan Pieterszoon Coen dan VOC menaklukan Jayakarta. Kemudian mereka membangun kota baru diatas puing-puing reruntuhan kota Jayakarta serta menggantinya dengan nama Batavia. Nama ini berasal dari kata Batavieren yang diyakini sebagai leluhur bangsa Belanda. Koningin van het Oosten atau Ratu dari Timur, itulah sebutan Batavia di abad ke-18.

-Uitkijk Post (Menara Peninjau) = kini Menara Syahbandar.

-Westszijdsce Pakhuizen (Gudang disebelah barat (sungai ciliwung) /Benteng tepi barat Batavia) = kini Museum Bahari.

-HoenderPasarBrug (Jembatan Pasar Ayam) = kini Jembatan Kota Intan.

-Grootkanal = kini Kali Besar.

-Kediaman Baron Van Imhoff (Toko Merah) = kini PT Dharma Niaga tapi tetap dikenal sebagai Toko Merah.

-Stadhuis (Balai Kota) = kini Museum Sejarah Jakarta.

-Stadhuisplein (Lapangan Balai Kota) = kini Taman Fatahillah.

-Raad van Justitie (Dewan Peradilan) = kini Museum Seni Rupa dan Keramik.

-Stedelijk Museum/ Oude Bataviasche Museum. ) = kini Museum Wayang.
 Dibuka pada tahun 1939 oleh gubernur jendral Tjarda Van Stakenborgh Stachouwer. Sering disebut juga: ex-oude hollandsche kerk (bekas gereja belanda lama).

-Gedong Factorij NHM (Nederlandsche Handel Maatschappij) = kini Museum Bank Mandiri. NHM adalah badan operasi sistem tanam paksa yang merupakan reinkarnasi dari VOC yang telah bangkrut,. sumber: “Saudagar baghdad dari betawi” nya Alwi Shahab.

-Nederlansche Indische Handel Bank -Bank Bumi Daya = kini Bank Mandiri.

-The Javasche Bank = kini Gedung Bank Indonesia. (versi lain: Stationgebouw BATAVIA). = kini Stasiun Jakarta Kota. Ada 2 versi arti Beos: Versi Pertama: Beos (Bataviasche Ooster Spoorweg Maatschapij) (Maskapai Angkutan Kereta Api Batavia Timur, Versi lain: Beos berasal dari kata Batavia En Omstreken, yang artinya Batavia dan Sekitarnya. Pembangunannya selesai pada 19 Agustus 1929 dan secara resmi digunakan pada 8 Oktober 1929.

-Portuguesse Buiten Kerk [Gereja Portugis Luar (tembok/kota)] = kini Gereja Sion. Diresmikan pada 23 oktober 1695,. sumber: “Toko Merah” nya Thomas B Ataladjar.

- Vila Reiner de Klerk = kini Gedung Arsip Nasional.

- Molenvliet Oest dan Moelenvleit West= kini Jl. Gajah Mada dan Hayam Wuruk
- Jaga Monyet = kini Jl.Suryopranoto
-Risjwijk = kini Jl. -
-Noordwijk = kini Jl.

Pada zaman kolonialisme Belanda kawasan Noordwijk and Risjwijk adalah daerah elit untuk orang-orang Eropa. -Weltevreden = kini Hampir Seluruh daerah Jakarta Pusat. Kota Batavia Lama dibangun diatas lahan reklamasi, dengan jalan sempit dan begitu banyak kanal sehingga menciptakan iklim yang tidak sehat yang berakibat warga Eropa pada awal 1800-an berpindah beberapa mil ke selatan kawasan itu. Mereka membangun daerah baru yaitu Weltevreden yang suka disebut juga Niew Batavia (Batavia Baru). Weltevreden (well content = puas and damai; benar-benar puas) mencakup wilayah :Lapangan Banteng, Senen, Pasar Baru, Lapangan Monas, Gambir dll).

- Dandels Paleis (Istana Dandels) = kin ...

Oeroeg: Rumah masa lalu yang telah hilang

"Apakah kita tetap berteman?” Tanya Johan kepada Oeroeg, “Hanya bila kita sama derajat” kata Oeroeg. “Apakah kita tidak sama derajat?” tanya Johan lagi, “Tidak, selama 12 orang Indonesia dihargai sama dengan 1 orang (Belanda) sepertimu” kata Oeroeg. Hal itu terjadi ketika Johan & Oeroeg bertemu di sebuah jembatan, status mereka sama2 sebagai tahanan perang. Johan ditahan pihak TNI & Oeroeg bersama 11 orang rekannya ditahan pihak Belanda, ketika itu sedang terjadi pertukaran tahanan perang diatara kedua belah pihak.Hella S Haasse pertama kali menceritakan kisah ini lewat sebuah novel yang berjudul sama, kemudian Hans Hylkema mengangkatnya menjadi sebuah film. Meskipun film ini berjudul “Oeroeg” namun film ini tidak berpusat kepada tokoh Oeroeg, film ini justru berpusat kepada tokoh Johan, seorang kulit putih berkebangsaan Belanda yang lahir & besar di Hindia Timur dalam atmosfer saat orang-orang Belanda masih memiliki ketenangan & kedamaian di tanah ini. Saat orang-orang pribumi masih menjadi pembantu, pelayan atau jongos bagi orang kulit putih, ketika orang pribumi belum melawan tuan mereka sendiri.Johan meninggalkan negeri ini untuk sekolah ke Belanda. Setelah 8 tahun akhirnya ia kembali ke tanah kelahirannya yang telah berganti nama menjadi Indonesia. Situasi damai & tenang pun telah berganti dengan kondisi yang kacau & tidak aman. Johan datang sebagai tentara Belanda dalam aksi polisionil atau menurut versi Indonesia agresi militer Belanda. Ketika ia kembali ke negeri ini Johan selalu teringat dengan sahabatnya sejak kecil sampai ia remaja: Oeroeg si anak pribumi. Saat Johan menemukan ayahnya tewas, ia menduga bahwa Oeroeglah yang membunuh ayahnya. Johan terus mencari bekas sahabatnya di masa lalu yang telah “hilang”.

     Film ini ditampilkan dengan alur yang tidak linear, adegan masa lalu (Johan kecil & remaja) dan masa kini (Johan sebagai tentara Belanda) muncul silih berganti. Teknik alur yang tidak kronologis menjadikan film ini seperti sebuah puzzle. Pecahan-pecahan (fragmen) adegan di masa lalu perlahan-lahan dimunculkan menguak teka-teki yang akhirnya akan terjawab di akhir film. Bagi yang tidak paham sejarah Indonesia khususnya dalam kurun waktu 1900an-1949 dengan posisi geografis di sekitar Kebon Jati & Batavia maka akan kesulitan memahami waktu-waktu kejadian yang berlangsung di film ini. Sebaliknya bagi yang paham sejarah tersebut maka akan lebih mudah untuk memahami film ini. Selain itu yang membuat film ini agak sulit untuk diraba latar waktu kejadiannya adalah karena sepanjang film tidak pernah dicantumkan informasi tahun, namun bagi yang paham sejarah bisa menganalisa secara garis besar latar waktu kejadian tersebut, terdapat 3 latar waktu kejadian di film ini:
I. Ketika Johan masih kecil (kira2 usianya 5-7 th) (sekitar tahun 1920-1930)
II. Ketika Johan remaja & berencana akan melanjutkan studinya ke Belanda, kira-kira usianya 18-20th (sekitar tahun 1938-1940 )
III. Ketika Johan datang sebagai tentara Belanda kira-kira usianya sekitar 26-28 tahun (sekitar tahun 1947-1949)

     Secara kronologis kisah ini bermula saat Johan kecil yang lahir & tumbuh di negeri Hindia Timur. Johan adalah anak dari pemilik perkebunan Hendrik Ten Berghe, Hendrik memiliki jongos yang bernama Deppo, anak Deppo inilah yang bernama Oeroeg. Sejak kecil sampai remaja Johan bersahabat dengan Oeroeg, namun persahabatan antar ras itu mulai rusak ketika Oeroeg mulai menyadari sikap bangsa Belanda yang suka merendahkan bangsa pribumi.
Titik balik sikap Oeroeg yang tadinya bersahabat menjadi bermusuhan dengan Johan adalah pada saat Oeroeg & Johan menonton film di gedung yang sama namun posisi mereka jelas dibedakan. Pada masa itu posisi penonton dibagi berdasarkan ras. Ras kulit putih menonton dengan posisi normal, sementara bangsa pribumi menonton dari balik layar, sehingga semua tulisan akan terbaca terbalik. Oeroeg semakin sadar akan kesalahan sistem yang diskriminatif yang diterapkan pemerintah kolonial Belanda saat ia bergabung dengan pergerakan nasional. Hubungan antara bekas sahabat tersebut semakin tidak harmonis & diakhiri dengan kepergian Johan ke Belanda untuk melanjutkan studinya. Ketika Johan kembali ke negeri ini ia masih berharap untuk bisa bersahabat dengan Oeroeg, namun Oeroeg menegaskan kalau persahabatan itu tidak akan terjalin selama seseorang masih dianggap lebih rendah daripada orang lain.
Oeroeg adalah sahabat Johan di masa lalu saat virus kesadaran akan diskriminasi ras belum menghinggapi anak pribumi itu, ketika Johan kembali ia mencari sahabatnya yang telah “hilang”. Hindia Timur juga masa lalu Johan saat ia masih merasakan kedamaian & ketenangan di bumi ini, ketika ia kembali semuanya juga telah hilang. Oeroeg adalah metafora dari Hindia Timur yang telah mengalami perubahan dan berganti nama menjadi Indonesia & Oeroeg bukan lagi milik Johan, begitu juga negeri berpenduduk ramah ini. Rupanya Johan si anak pemilik perkebunan ini telah kehilangan sahabat & tanah kelahirannya sekaligus. Sangat ironis ketika ia ingin pulang ke negeri kelahirannya yang indah ini, namun ia justru disuruh pulang dari “rumah”nya sendiri oleh TNI “Dutchman, Go Home!”

Ramdan Panigoro

Sebelum Lahirnya Hari Film Nasional



     Hari Film Nasional diperingati oleh insan perfilman Indonesia setiap tanggal 30 Maret. Tanggal ini ditetapkan sebagai hari lahirnya Film Nasional karena pada 30 Maret 1950 adalah hari pertama pengambilan gambar film “Darah & Do’a” atau “Long March of Siliwangi” yang disutradarai oleh Usmar Ismail. Alasan disakralkannya film “Darah & Do’a” karena film ini dinilai sebagai film lokal pertama yang bercirikan indonesia. Selain itu inilah film pertama yang benar-benar disutradarai oleh orang Indonesia asli dan juga dilahirkan dari perusahaan film milik orang Indonesia asli. Perusahaan ini bernama Perfini (Perusahaan Film Nasional Indonesia) Usmar Ismail juga pendirinya.
Film Nasional telah disepakati lahir pada tanggal 30 Maret 1950, namun sebenarnya sejarah pembuatan film cerita di Indonesia yang dulunya bernama Hindia Belanda, sudah dimulai pada tahun 1926. Bahkan sampai tahun 1942 industri film lokal sudah cukup berkembang, meskipun masih kalah bersaing dengan film-film asing terutama dari Amerika. Pada masa itu para pemilik perusahaan-perusahan film lokal adalah orang-orang Cina & Belanda. Judul film cerita yang pertama kali dibuat di negeri ini adalah: “Loetoeng Kasaroeng” yang masih berupa film bisu. Pemain-pemainya adalah orang-orang pribumi, pembuatnya adalah dua orang Belanda: G. Krugers & L. Heuveldorf. Ketika film ini dibuat penduduk di kota-kota besar seperti Batavia, Bandung, Surabaya dll sudah tidak asing lagi dengan pemutaran film yang dulu dikenal dengan sebutan “Gambar Idoep”. Mereka sudah biasa melihat film-film cerita yang berasal dari Amerika, Cina dan Belanda. Penduduk Hindia Belanda khususnya warga Batavia untuk pertama kalinya bisa menyaksikan film di penghujung tahun 1900.

Awal Pertunjukan Film
     Pada 1895 Lumiere bersaudara (August & Louis) untuk pertama kalinya memutar film di kota Paris tepatnya di grand Cafe dengan cara memungut bayaran dari penonton, seperti halnya sistem pada bioskop saat ini. Sebelumnya mereka telah menemukan alat perekam gambar bergerak (kamera) dan berhasil memperoyeksikannnya kembali, sehingga bisa disaksikan orang banyak. Film-film yang ditampilkan adalah rekaman kehidupan sehari-hari warga kota Paris seperti buruh-buruh yang keluar dari pabrik dan seorang ibu yang sedang memberi makan bayinya. Yang paling membuat kegaduhan adalah rekaman gambar kereta yang berjalan ke arah layar. Ketika kereta semakin “mendekati” layar, penonton pun dibuat panik, mereka merasa kalau kereta tersebut akan menabraknya.
Film akhirnya semakin berkembang khusunya di Eropa termasuk Belanda. Kemudian film mulai di eksport ke koloni-koloni bangsa Eropa. Tentunya Belanda mengirimnya ke Hindia Belanda.


Gambar Idoep tiba di Betawi

Tanggal 5 Desember 1900 warga Betawi utuk pertama kalinya dapat melihat “gambar-gambar idoep” atau Pertunjukan Film. Pertunjukan ini berlangsung di Tanah Abang, Kebonjae. Film pertama yang ditampilkan adalah sebuah dokumenter yang terjadi di Eropa & Afrika Selatan, juga diperlihatkan gambar Sri Baginda Maha Ratu Belanda bersama Yang Mulia Hertog Hendrig memasuki kota Den Haag.
Bioskop yang terkenal saat itu antara lain adalah dua bioskop Rialto di Tanah Abang (kini bioskop Surya) dan Senen (kini menjadi gedung Wayang Orang Baratha) serta Orion di Glodok. Saat itu bioskop dibagi-bagi berdasarkan ras, bioskop untuk orang-orang eropa hanya memutar film dari kalangan mereka sementara bioskop untuk pribumi & tionghoa selain memutar film import juga memutar film produksi lokal. Kelas pribumi mendapat sebutan kelas kambing, konon hal ini disebabkan karena mereka sangat berisik seperti kambing.

Film Cerita Lokal Pertama
Film cerita lokal pertama berjudul “Loetoeng Kasaroeng” (1926) diambil dari cerita legenda yang berasal dari Jawa Barat. Pembuatannya dilakukan di Bandung, oleh Perusahan Film: Java Film Company yang dipimpin oleh G.Krugers dari Bandung dan L. Heuveldorf dari Batavia. Heuveldorf adalah seorang Belanda totok yang disebutkan sudah berpengalaman di bidang penyutradaraan di Amerika. Krugers adalah seorang Indo-Belanda asal Bandung, ia adalah adik menantu dari Busse seorang raja bioskop di Bandung. Penyutradaraan Film ini dilakukan oleh Heuveldorf, sementara pemainnya adalah anak2 dari bupati Bandung Wiranata Kusuma II. Hasilnya tergolong sukses, diputar selama satu minggu di Bandung, antara 31 Desember 1926-6 Januari 1927. Kemudian Java Film Co. membuat film kedua: “Euis Atjih”, perekamannya kembali dilakukan di Bandung. Tidak seperti “Loetoeng kasaroeng” yang merupakan cerita legenda, “Euis Atjih” adalah kisah drama modern. Hasilnya juga tergolang sukses.
Setelah orang Belanda memproduksi film lokal, berikutnya datang Wong bersaudara, yang hijrah dari industri film Shanghai. Awalnya hanya Nelson Wong yang datang, ia menyutradarai “Lily van Java” (1928) pada perusahaan South Sea Film Co. Kemudian kedua adiknya Joshua & Otniel Wong menyusul dan mendirikan perusahaan Halimoen Film.
Film Bicara
     Pada akhir tahun 1929 diputar di sini film-film bersuara yaitu “Fox Follies” dan “Rainbouw Man” yang merupakan film bicara pertama yang disajikan di Indonesia. Perkembangan pemutaran film bicara agak lambat. Sampai tengah tahun 1930, baru sebagian kecil saja bioskop yang sanggup memasang proyektor film bicara.
Masuknya film bicara sebetulnya menguntungkan kedudukan film buatan dalam negeri. Karena penonton kalangan bawah semakin kurang faham menyaksikan film asing. Sebab informasi yang semula hanya disampaikan dalam bentuk aksi, kini banyak diganti dengan dialog, yang bahasanya tidak dipahami mereka. Sejak 1931 pembuat film lokal mulai membuat film bicara. Percobaan pertama yang antara lain dilakukan oleh The Teng Chun dalam film perdananya: “Bunga Roos dari Tjikembang” (1931) hasilnya amat buruk. Film bicara pertama yang dibuat Halimoen Film adalah Indonesie Malaise (1931). Sampai 1934 usaha pembuatan film bicara oleh perusahaan film lokal belum mendapatkan sambutan yang sangat antusia dari penontonnya sendiri.

Film c
erita lokal pertama yang “Meledak”
Nama Albert Balink tercatat sebagai orang pertama yang memproduksi film lokal yang sangat laris, judulnya “Terang Boelan”. Albert Balink adalah seorang wartawan Belanda yang tidak pernah terjun ke dunia film dan hanya mempelajari film lewat bacaan-bacaan.
Pada tahun 1934 Balink mengajak Wong Bersaudara untuk membuat film “Pareh”. Untuk mendampinginya didatangkan dari negeri Belanda tokoh film Dokumenter Manus Franken. Mungkin karena Franken berlatar belakang dokumenter maka banyak adegan dari film “Pareh” yang menampilkan keindahan alam Hindia Belanda. Film seperti ini rupanya tidak mempunyai daya tarik buat penonton film lokal karena sehari-harinya


mereka sudah sering melihat gambar-gambar tersebut. Kemudian Balink membuat perusahaan film “ANIF” (Gedung perusahaan film ANIF kini menjadi gedung PFN, terletak di kawasan Jatinegara) dengan dibantu oleh Wong bersaudara dan seorang wartawan pribumi yang bernama Saeroen, mereka membuat film “Terang Boelan” (1934). Hasilnya: inilah Film cerita lokal pertama yang mendapat sambutan yang luas dari kalangan penonton kelas bawah.
     Film tersebut dibintangi oleh Miss. Roekiah & R.d Mochtar dimana berkat film “Terang Boelan” ini nama mereka jadi ikut melambung. Ketika namanya naik Miss. Roekiah sudah berkeluarga, ia bersuamikan Kartolo (pemain film juga) dan anak mereka kelak menjadi pemain film terkenal yaitu Rachmat Kartolo. Cerita film “TB” sendiri sebenarnya sangat mirip dengan film buatan Amerika yang berlatar kepulauan Hawai. Pada film “Terang Boelan” kostum penduduk pulau SAWOBA (pulau fiktif , SWOBA adalah singkatan dari: SAeroen, WOng & BAlink) mirip dengan kostum penduduk kepulauan Hawai yang bisa diliat pada film-film Amerika, jadi bisa dipastikan bahwa film “TB” adalah hasil adaptasi.Kesuksesan TB di pasar menyebabkan pembuat film lain jadi ikut tergiur, maka film-film selanjutnya banyak yang menggunakan resep “TB”.

Film di bawah Pendudukan Jepang & Masa Revolusi

Pada 8 Maret 1942 Pemerintah Hindia Belanda menyerah kepada Jepang. Dalam bidang film yang pertama-tama dilakukan Jepang adalah menutup semua perusahaan film yang ada, termasuk 2 perusahaan film milik orang Cina yang produktif. JIF dan TAN’s FILM. Peralatan studio-studio tersebut disita untuk dimanfaatkan pada pembikinan film berita & penerangan. Dengan di tutupnya studio film tersebut maka para pengusahanya yang keturunan Cina beralih ke bisnis lain. Para pemainnya pun yang sebelumnya bergelut di panggung sandiwara kembali ke bidang tersebut. Pemerintah Jepang memang amat menggalakan media panggung sandiwara sebagai alat propaganda. Pada masa ini film cerita diproduksi dibawah pengawasan ketat pemerintah Jepang semua film harus sejalan dengan keinginan pihak Jepang.
Setelah Jepang menyerah terhadap sekutu maka di Indonesia terjadi kekosongan pemerintahan, proklamasi kemerdekaan pun dikumandangkan, namun pihak Belanda tidak mengakuinya & terjadilah perang sampai 1949. Pada masa revolusi kemerdekaan ini seorang pemuda yang bernama Usmar Ismail (kelak akan menjadi tokoh penting Perfilman Nasional) ikut dalam peperangan ia kemudian ditawan pihak Belanda. Setelah diketahui latar belakangya oleh pihak Belanda maka ia dipekerjakan pada perusahaan film Belanda sebagai asisten sutradara. Pada perusahaan film tersebut ia sempat menyutradarai film “tjitra”.

Hubungan Perfilman Lokal & Pergerakan Nasional pada zaman kolonial

Film lokal, terutama pada masa Hindia Belanda dan awal berdirinya Republik ini, ditujukan untuk masyarakat kelas bawah, sementara kaum pergerakan Nasional adalah orang-orang terpelajar yang berasal dari kalangan atas. Sepertinya mereka hidup di dalam dunia yang berbeda. Dimata kaum terpelajar film lokal dinilai tidak bermutu, baik dari segi teknis pembuatan maupun cerita. Namun bukan berarti tidak ada persentuhan sama sekali antara dua dunia ini. Beberapa orang film juga ada yang sepaham dengan pikiran2 kaum pergerakan nasional ini. Seperti Saeroen (“sutradara” film “Terang Boelan”) yang dulunya adalah seorang wartawan pernah menulis di koran “Pemandangan” dengan nama samaran Kampret. Dia menuliskan suatu kali ia memimpikan berdirinya negara “Republik Indonesia Serikat” dengan Perdana Menteri: M.H Thamrin, Menteri Pekerjaan Umum: Abikusno Tjokrosujoso, Menteri Pengajaran: Ki Hajar Dewantoro, Menteri Penerangan: Parada Haraha. Akibatnya koran “Pemandangan” dibreidel Pemerintah Belanda.
Kemudian ada seorang terpelajar yang bernama A.K Gani yang bermain dalam film “Asmara Moerni”, namun akibat dari perbuatan A.K Gani ini, ia dikecam oleh kalangan terpelajar/ pergerakan nasional lainnya. Setelah penampilannya di film tersebut A.K Gani tidak pernah muncul lagi di dunia perfilman.

Lahirnya” Film Nasional
     Usmar Ismail yang sempat bekerja untuk perusahaan film Belanda akhirnya keluar dari perusahaan tersebut karena ketidak-cocokannya dengan sistem yang diterapkan. Ia pun mendirikan perusahaan film sendiri yang bernama Perfini (Perusahaan Film Indonesia). Produksi pertama film ini adalah “Darah & Do’a” atau “The Long March of Siliwangi” yang perekamannya dimulai pada 30 Maret 1950. Film ini mengisahkan tentang perjalanan jauh serombongan tentara bersama para pengungsi, di dalamnya terjadi saling tertarik hati antar komando tentara dengan salah satu pengungsi wanita Indo-Belanda, wanita dari kalangan musuh yang sedang diperangi, ceritanya digarap oleh Sitor Situmorang. Oleh Usmar Ismail dijelmakan dengan menggunakan pemain baru sama sekali, tidak menggunakan pemain profesional, rupanya ia anti “Star System”. 12 tahun sesudah produksi film “Darah & Do’a” tepatnya pada 11 oktober 1962 konferensi kerja Dewan Film Nasional dengan organisasi perfilman menetapkan hari shooting pertama film tersebut yaitu 30 Maret 1950 sebagai Hari Film Indonesia.
Ketetapan tersebut sempat mendapat perlawanan dari golongan kiri yang sangat agresif dalam menghadapi pihak yang dianggap sebagai lawan-lawannya. Pada 1964 golongan kiri membentuk PAPFIAS (penulis menemukan dua versi arti dari PAPFIAS: yang pertama Panitia Aksi Pemboikotan Film Imperialis Amerika Serikat, yang kedua Panitia Aksi Pengganyangan Film Imperialis Amerika Serikat.) Golongan kiri melakukan serangan-serangan kepada film Usmar Ismail yang dianggap tidak nasionalis atau kontra-revolusioner. PKI dan golongan kiri pun tidak mengakui tanggal 30 Maret 1950 sebagai Hari Film Nasional, tapi menuntut 30 April 1964 yang dijadikan sebagai Hari Film Nasional, saat berdirinya PAPFIAS. Pada 1966 terjadi peristiwa Gestapu, golongan komunis yang dianggap sebagai biang keladi peristiwa ini dihabisi. Artinya wacana penggantian tanggal hari film nasional ikut lenyap dan tanggal 30 Maret 1950 tetap diakui sebagai hari lahirnya Flm Nasional sampai saat ini

Ramdan Panigoro

Sumber Pustaka:
-Film Indonesia Bagian I (1900-1950), DR. Taufik Abdullah, H. Misbach Yusa Biran & S.M Ardan, Dewan film Nasional, 1993
-Katalog Film Indonesia (1926-1995), JB Kristanto, SM. Ardan ,1995
-Selintas Kilas Sejarah Film Indonesia, H. Misbach Jusa Biran (Sinematek Indonesia), Badan Pelaksana FFI, 1982.
-106 Tahun Gambar Idoep: Alwi Shahab, Republika Online, 2006.
Sumber Foto:
Semua foto adalah hasil repro atau fotul (foto ulang) dari buku:
-Film Indonesia Bagian I (1900-1950), DR. Taufik Abdullah, H. Misbach Yusa Biran & S.M Ardan, Dewan film Nasional, 1993

Telusur Malang Mei 2007

     Kota Malang, tanggal 5 Mei 2007 sekitar jam 6 sore, dari hotel Aloha di Jl. Gajah Mada saya berangkat menuju Jl. Ijen tempat diadakannya acara Festival Malang Kembali. Saya menggunakan transportasi yang tidak pernah saya liat lagi di Jakarta: Becak. Dalam perjalanan, ketika melewati perempatan Jl. Kahuripan (ex-Van Riebeeckstraat) & Jl. Semeru (ex-Semeroestraat) ada suatu gedung yang mencuri perhatian saya. Posisinya di sebelah kiri, di hook Jl. Semeru, namun saya hanya melewatinya saja karena bukan gedung itulah tujuan saya. Sepulang dari Jl. Ijen saya kembali melewati gedung tersebut, tentunya kali ini berada di sisi kanan saya, dan kembali saya tidak bisa melepaskan pandangan saya pada gedung tersebut. Entah apa yang berbeda dari gedung tersebut saya tidak bisa mendeskripsikannya saya hanya bisa merasakannya… Mungkin karena temboknya yang langsung menempel pada trotoar & tidak adanya pagar pembatas sehingga membuatnya “telanjang”, minta dilihat…

     Sesampai di Hotel ternyata gedung tersebut masih melintasi pikiran saya, rupanya ia meminta saya untuk memburunya, dan esok siangnya sayapun mengabulkan permintaannya untuk diburu dengan Pentax ist DL. Menurut warga setempat gedung tersebut bernama gedung kembar. Sesuai namanya gedung yang saya liat semalam itu ternyata memang memiliki kembaran yang letaknya tidak jauh darinya, tepat di seberang utaranya. Dari segi bentuk keduanya memang mirip namun yang di sebelah utara kini di cat dengan warna yang sangat menyala, kontras dengan saudaranya. Gedung sebelah selatan yang dicat dengan warna krem muda kini menjadi kantor Bank A.N.K (Arta Niaga Kencana) sedangkan yang disebelah utara yang dicat dengan warna kuning & oranye kini menjadi tempat biliar, cafe & bar bernama “pitstop”. Selain itu di sudut atasnya ditutupi pula sebuah poster iklan yang membuatnya semakin berbeda dengan saudaranya.

     Di Jalan Ijen saya membeli foto2 & kartu2 pos repro Malang Tempo Doeloe, salah satu foto yang saya beli menampilkan 2 gedung kembar, rupanya itu adalah foto gedung kembar tempo doeloe yang sekarang sudah berbeda, di foto tersebut keduanya masih sangat mirip. Saya juga mendapatkan foto Jl. Ijen tahun 1948, foto Jl. Pasar Besar yang dulu bernama Petjinanstraat, foto hotel pelangi yang kondisinya juga sudah berbeda, dll. Esoknya saya kembali menelusuri kota Malang sambil mendokumentasikannya.
Berikut foto2 seputar Kota Malang yang saya dampingkan dengan beberapa foto2 tempo doeloe nya.